ABSTRAK
Masyarakat Ekonomi
Asean (MEA) merupakan realisasi pasar
bebas di Asia Tenggara yang sebelumnya telah disebut dalam Framework Agreement
on Enhancing ASEAN Economic Cooperation pada tahun 1992. Sebagai
negara berkembang, Indonesia merupakan negara yang cukup diminati oleh negara
asing. Radiografer sebagai salah
satu
tenaga
kesehatan, wajib untuk berbebah diri dalam menghadapi MEA ini, Oleh karena itu dperlukan upaya peningkatan profesionalisme Radiografer
Idonesia melalui pelatihan dan pendidikan informal misal seminar dan workshop
tentang peningkatan skill dan komunikasi Radiografer. Saat ini banyak negara
yang mensyaratkan untuk praktisi
kesehatan yang akan bekerja di negara tersebut harus mampu menggunakan bahasa nasional mereka. Kemampuan
bahasa asing belum terlihat implementasinya dalam kurikulum pembelajaran institusi di Indonesia,
tenaga kesehatan Indonesia termasuk Radiografer yang berkeinginan untuk bekerja
di suatu negara harus menguasai bahasa di negara tersebut. Minimal Bahasa
Inggris sebagai bahasa internasional. Karakter
merupakan aktualisasi dari soft skill seseorang, yang mana karakter merupakan
cara berpikir dan perilaku yang menunjukkan ciri khas dari seseorang dan
bekerjasama dengan orang lain dan mampu bertanggung jawab dengan apa yang
menjadi keputusannya. Soft skill pada Radiografer dapat dibangun dan
dikembangkan, oleh karena itu pengembangan soft skill melalui berbagai
pelatihan tidak jauh berbeda dengan apa yang sekarang dikenal dengan
pengembangan karakter bangsa. Perkembangan teknologi jauh lebih
cepat dibandingkan dengan tingkat kemahiran seseorang maka dari itu diharapkan
Radiografer Indonesia dapat menguasai teknologi dengan baik serta selalu up to date
mengenai teknologi terkini yang berkembang dalam dunia Radiologi. Hal tersebut
dilakukan agar tenaga kerja mampu mengup-date keahlian mereka sehingga daya
saing mereka terhadap praktisi kesehatan asing juga akan meningkat.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Globalisasi
adalah suatu proses yang menyeluruh
atau mendunia dimana setiap orang tidak terikat oleh negara atau batas-batas
wilayah, artinya setiap individu dapat terhubung dan saling bertukar informasi
dimanapun dan kapanpun melalui media elektronik maupun cetak. Globalisasi dapat
menjadikan suatu negara lebih kecil karena kemudahan komunikasi antarnegara
dalam berbagai sektor
seperti pertukaran informasi, perdagangan, maupun sektor lainnya. Pengaruh globalisasi
di berbagai sektor yang mengarah pada pasar bebas tidak bisa dihindari oleh
negara-negara diseluruh dunia termasuk diantaranya Indonesia. Di era ini, kemajuan teknologi dan informasi
berkembang pesat. Globalisasi mempengaruhi perubahan di semua sektor, tidak
terkecuali di bidang kesehatan. Apalagi diberlakukannya Asean Free Trade Area
(AFTA) atau istilah lainnya Mayarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir tahun 2015 lalu.
MEA
merupakan realisasi pasar bebas di Asia Tenggara yang sebelumnya telah disebut
dalam Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic
Cooperation pada tahun 1992. Pada pertemuan tingkat Kepala Negara ASEAN
(ASEAN Summit) ke-5 di Singapura pada tahun 1992 tersebut para Kepala Negara
mengumumkan pembentukan suatu kawasan perdagangan bebas di ASEAN (AFTA) dalam
jangka waktu 15 tahun. Kemudian dalam perkembangannya dipercepat menjadi tahun
2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002. (www.tarif.depkeu.go.id).
Sebagai
negara berkembang, Indonesia merupakan negara yang cukup diminati oleh negara
asing. Pertama, karena memiliki potensi pasar yang besar terkait dengan jumlah
penduduk yang besar yaitu lebih dari 200 juta penduduk. Kedua, kondisi
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang
cukup
menjanjikan. Dengan potensi pasar yang besar tidak mengherankan jika kelak
banyak tenaga kesehatan asing yang berniat bekerja di Indonesia. Hal ini
tampaknya sangat
menakutkan bagi profesi kesehatan, seperti kita ketahui kualitas sumber daya
manusia kesehatan kita masih tergolong rendah serta penguasaan teknologi yang
terbatas pula. Dalam rangka diberlakukannya sistem AFTA atau MEA ini,
Kementerian Kesehatan telah bekerja sama dengan beberapa negara lain
diantaranya Saudi Arabia, Inggris, Kuwait, Belanda, Singapura, Amerika,
Norwgia, dan Malaysia untuk pengiriman tenaga kesehatan Indonesia ke
negara-negara tersebut.
Radiografer
sebagai salah satu tenaga kesehatan, wajib untuk berbenah diri untuk menghadapi MEA
ini, peluang dan tantangan yang menghadang harus diterobos (breakthrough)
dengan peningkatan mutu dan profesionalisme Radiografer Indonesia melalui Skill dan kemampuan berkomunikasi yang
dimiliki. Setiap Radiografer harus memiliki skill yang mumpuni serta komunikasi yang
baik dalam hal ini kemampuan berbahasa internasional agar mampu bersaing dengan Radiografer asing dari negara lain. Oleh karena itu
perlunya meningkatkan
skill dan komunikasi yang dimiliki
Radiografer sebagai kesiapan dalam menghadapi
persaingan pasar global
MEA. Berkaitan dengan hal tersebut,
kami tertarik mengangkatnya dalam bentuk Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Peningkatan
Skill dan Komunikasi Radiografer dalam Menghadapi
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)”.
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Apa saja peluang dan tantangan Indonesia
dalam menghadapi MEA?
2.
Apa saja yang harus dilakukan
Radiografer dalam menghadapi MEA?
3.
Apa
saja upaya Radiografer dalam meningkatkan komunikasi dan skill menghadapi MEA?
1.3 Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui peluang dan tantangan
Indonesia dalam mengahadapi MEA.
2.
Untuk
mengetahui hal yang harus dilakukan Radiografer dalam menghadapi MEA.
3.
Untuk
mengetahui upaya peningkatan skill dan komunikasi Radiografer Indonesia dalam
menghadapi MEA.
1.4
Manfaat
Penulisan
1.
Bagi Penulis dan Pembaca
Dapat
menambah pengetahuan mengenai upaya peningkatan skill dan komunikasi
radiografer dalam menghadapi MEA.
2.
Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai
masukan atau bahan pertimbangan mengenai peningkatan skill dan komunikasi dalam
mencetak calon radiografer yang mampu bersaing dengan radiografer asing.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Masyarakat Ekonomi
ASEAN
Disepakatinya
Visi ASEAN 2020 pada bulan Desember 1997 di Kuala Lumpur menandai sebuah babak
baru dalam sejarah integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Dalam deklarasi
tersebut, pemimpin negara-negara ASEAN sepakat untuk mentransformasikan kawasan
Asia Tenggara menjadi sebuah kawasan yang stabil, sejahtera dan kompetitif,
didukung oleh pembangunan ekonomi yang seimbang, pengurangan angka kemiskinan
dan kesenjangan sosial-ekonomi di antara negara-negara anggotanya. Komitmen
untuk menciptakan suatu Masyarakat ASEAN (ASEAN Community) sebagaimana
dideklarasikan dalam visi tersebut, kemudian semakin dikukuhkan melalui ASEAN Concord II pada Pertemuan Puncak di Bali
Oktober 2003, atau yang lebih dikenal sebagai Bali Concord II, di mana para
pemimpin ASEAN mendeklarasikan pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN
Economic Community) sebagai tujuan dari integrasi ekonomi kawasan pada 2020. (ASEAN
Concord II/Bali Concord II,http://www.aseansec.org)
Dalam
Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN (ASEAN Economic Ministers Meeting-AEM) yang
diselenggarakan pada bulan Agustus 2006
di Kuala Lumpur, komitmen yang kuat
menuju terbentuknya integrasi ekonomi kawasan ini dijawantahkan ke dalam gagasan pengembangan sebuah cetak
biru menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN yang kemudian secara terperinci disahkan
dan diadopsi oleh seluruh negara anggota ASEAN pada November 2006. Bahkan,
sebelumnya dalam Pertemuan Puncak ASEAN ke-12 pada Januari 2007, para pemimpin
ASEAN sepakat untuk mempercepat pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun
2015 dan mentransformasikan ASEAN menjadi sebuah kawasan di mana barang, jasa, investasi, pekerja
terampil, dan arus modal dapat bergerak dengan bebas.
2.2 Skill
Dalam
kaitan antisipasi menghadapi penerapan MEA, pendidikan merupakan unsur penting
yang harus mendapat prioritas utama. Pendidikan diharapkan mempunyai outcome
berupa life skill, yang menjadi bagian konsep dasar pendidikan nasional. Life
skill merupakan kemampuan, kesanggupan dan
ketrampilan yang harus dimiliki dalam
menjalani proses kehidupan. Sehingga sanggup bersaing dan terampil dalam menjaga kelangsungan hidup dan
tantangan pada masa depan (Ilahi, Takdir. 2012).
Hal yang
perlu disiapkan dalam menghadapi MEA adalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal dan
mampu bersaing dengan sumber daya manusia dari anggota MEA yang lain. Penyiapan
sumber daya manusia yang dilakukan salah satunya melalui jalur pendidikan tinggi yaitu pada
mahasiswa-mahasiswa yang ada di kampus.
Mahasiswa yang rata-rata berusia 20 tahun, merupakan asset bangsa yang sangat berharga karena mahasiswa masih berada
pada masa-masa keemasan dalam mencari
jati diri. Perguruan tinggi menjadi ladang
yang sangat luas untuk menggali ilmu yang diperlukan di masa depan. Sehingga mahasiswa
lulus dengan harapan sudah mempunyai beberapa kompetensi atau memiliki
kemampuan (skill) pada dirinya. Kompetensi mahasiswa lulus dan siap untuk
menghadapi MEA bukan hanya kompetensi akademik (intelektual) saja yang
dibutuhkan. Karena persaingan yang sangat terbuka akan hadir di MEA dalam ajang
mencari sumber daya manusia yang mempunyai kualifikasi dan sertifikasi keahlian
tertentu. Maka lulusan perguruan tinggi harus benar-benar memberikan outcome dalam memenuhi harapan dalam dunia MEA
nantinya. Lulusan perguruan tinggi dituntut harus memiliki hard skills dan
sekaligus soft skills (karakter). Kemampuan hard skills merupakan kemampuan
penguasaan pada aspek teknis dan pengetahuan yang harus dimiliki sesuai dengan
kepakatan ilmunya. Soft skills adalah keterampilan seseorang dalam berhubungan
dengan orang lain (interpersonal skills) dan keterampilan dalam mengatur
dirinya sendiri (intrapersonal skills) yang mampu mengembangkan unjuk kerja
secara maksimal. Soft skills merupakan keterampilan dan kecakapan hidup, baik
untuk sendiri maupun kecakapan dengan orang lain. Hard skills dan soft skills
merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, di dalam implementasi
kehidupan saling beriringan. Sehingga terjadi keseimbangan dalam mencapai
tujuan hidup.
Oleh
sebab itu, pembinaan karakter pada mahasiswa
perlu dibangun atau dikuatkan contohnya membangun kepercayaan diri, motivasi
diri, manajemen waktu, mempunyai kreatif dan inovatif berpikir positif, serta
membangun komunikasi dengan orang lain. Selain itu, menumbuhkan jiwa
berwirausaha pada mahasiswa juga sangat penting dilihat sebagai sasaran MEA
adalah bagaimana sistem perdagangan menjadi tujuan utama, dan karakter-karakter lain yang perlu bangun dan
dikembangakan dalam diri mahasiswa. Kemampuan-kemampuan tersebut dapat dilatih
dan dikembangkan melalui pendidikan, organisasi dan pelatihan-pelatihan khusus.
Dengan demikian, pendidikan tinggi berperan penting dalam pembentukan karakter
anak bangsa. Pembahasan tentang bagaimana pendidikan, khususnya pendidikan
tinggi harus merespon dengan tepat agar dapat menyiapkan SDM yang berkualitas
agar siap menghadapi MEA dengan cara penguatan karakter tentu perlu diungkap
dengan jelas. Dengan penguatan karakter pada mahasiswa diharapkan mampu
menciptakan generasi-generasi bangsa yang siap bersaing pada era Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.
2.3 Komunikasi
Bahasa pada hakikatnya adalah ucapan pikiran dan
perasan manusia secara teratur,
yang mempergunakan bunyi sebagai alatnya (Depdiknas, 2005: 3). Sementara itu menurut Harun Rasyid, Mansyur & Suratno (2009: 126) bahasa merupakan struktur dan makna yang bebas dari penggunanya, sebagai tanda yang menyimpulkan suatu tujuan. Sedangkan bahasa
menurut kamus besar Bahasa Indonesia
(Hasan Alwi,2002:88) bahasa berarti sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh semua
orang atau anggota masyarakat untuk bekerjasama,
berinteraksi, dan mengidentifikasi diri dalam bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan
santun yang baik.
Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia (Hasan
Alwi,2002:707-708) kemampuan
berasal dari kata mampu yang berarti yang pertama kuasa (bisa, sanggup) melakukan sesuatu dan kedua
berada. Kemampuan sendiri mempunyai arti
kesanggupan, kecakapan, kekuatan, kekayaan. Sedangkan kemampuan menurut bahasa berarti kemampuan
seseorang menggunakan bahasa yang memadai
dilihat dari sistem bahasa, antara lain mencakup sopan
santun, memahami giliran dalam bercakap-cakap. Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa kemampuan bahasa merupakan kesanggupan,
kecakapan, kekayaan ucapan pikiran dan perasaan manusia melalui bunyi yang
arbiter, digunakan untuk bekerjasama,
berinteraksi, dan mengidentifikasi
diri dalam percakapan yang baik.
BAB
III
HASIL
PEMBAHASAN
2.1 Peluang dan Tantangan Indonesia
dalam menghadapi MEA
Gambaran
karakteristik utama MEA adalah pasar tunggal dan basis produksi, kawasan
ekonomi yang berdaya saing tinggi, kawasan dengan pembangunan ekonomi yang
adil, dan kawasan yang terintegrasi ke dalam ekonomi global. Dampak
terciptanya MEA adalah terciptanya pasar bebas di bidang permodalan, barang dan
jasa, serta tenaga kerja. Konsekuensi atas kesepakatan MEA yakni dampak aliran
bebas barang bagi negara-negara ASEAN, dampak arus bebas jasa, dampak arus
bebas investasi, dampak arus tenaga kerja terampil, dan dampak arus bebas
modal..Dari karakter dan dampak MEA tersebut sebenarnya ada peluang dari kegiatan
MEA yang bisa diraih Indonesia. Peluang tersebut diantaranya :
2.1.1
Manfaat
Integrasi Ekonomi
Kesediaan
Indonesia bersama-sama dengan 9 (sembilan) Negara ASEAN lainnya membentuk ASEAN
Economic Community (AEC) pada tahun 2015 tentu saja didasarkan pada keyakinan
atas manfaat yang secara konseptual akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia dan kawasan ASEAN. Integrasi ekonomi dalam mewujudkan AEC 2015
melalui pembukaan dan pembentukan pasar yang lebih besar, dorongan peningkatan
efisiensi dan daya saing, serta pembukaan peluang penyerapan tenaga kerja di
kawasan ASEAN, akan meningkatkan kesejahteraan seluruh negara.
Pasar
Potensial Dunia. Pewujudan AEC di tahun 2015 akan menempatkan ASEAN
sebagai kawasan pasar terbesar ke-3 di dunia yang didukung oleh jumlah penduduk
ke-3 terbesar (8% dari total penduduk dunia) di dunia setelah China dan India.
Pada tahun 2008, jumlah penduduk ASEAN sudah mencapai 584 juta orang (ASEAN
Economic Community Chartbook, 2009), dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang
terus meningkat dan usia mayoritas berada pada usia produktif. Pertumbuhan
ekonomi individu Negara ASEAN juga meningkat dengan stabilitas makroekonomi
ASEAN yang cukup terjaga dengan inflasi sektitar 3,5 persen. Jumlah penduduk
Indonesia yang terbesar di kawasan (40% dari total penduduk ASEAN) tentu saja
merupakan potensi yang sangat besar bagi Indonesia menjadi negara ekonomi yang
produktif dan dinamis yang dapat memimpin pasar ASEAN di masa depan.
2.1.2
Negara
Tujuan Investor
Sebagai pasar bebas yang memiliki basis
produksi, ASEAN memiliki faktor yang mendorong meningkatnya investasi di dalam
negeri masing-masing anggota dan intra-ASEAN serta masuknya investasi asing ke
kawasan dalam negri. Sebagai Negara dengan jumlah penduduk terbesar (40%) diantara
Negara Anggota ASEAN, Indonesia diharapkan mampu menarik investor ke dalam
negeri dan mendapat peluang ekonomi yang lebih besar.
2.1.3
Daya
Saing
Indonesia
sebagai salah satu negara besar yang juga memiliki tingkat integrasi tinggi di
sektor elektronik dan keunggulan komparatif pada sektor berbasis sumber daya
alam, berpeluang besar untuk mengembangkan industri di sektor-sektor di dalam
negeri. Di bidang jasa, ASEAN juga memiliki kondisi yang memungkinkan agar
pengembangan sektor jasa dapat dibuka seluas-luasnya. Sektor-sektor jasa
prioritas yang telah ditetapkan yaitu pariwisata, kesehatan, penerbangan dan
e-ASEAN. Namun, perkembangan jasa prioritas di ASEAN belum merata, hanya
beberapa negara ASEAN yang mempunyai perkembangan jasa yang sudah berkembang seperti
Singapura, Malaysia dan Thailand. Kemajuan ketiga negara tersebut dapat
dimanfaatkan sebagai penggerak dan acuan untuk perkembangan liberalisasi jasa
di ASEAN.
Dari
sisi jumlah tenaga kerja, Indonesia yang mempunyai penduduk yang sangat besar
dapat menyediakan tenaga kerja yang cukup dan pasar yang besar, sehingga
menjadi pusat industri. Selain itu,Indonesia dapat menjadikan ASEAN sebagai
tujuan pekerjaan guna mengisi investasi yang akan dilakukan dalam rangka AEC
2015. Standardisasi yang dilakukan melalui Mutual Recognition Arrangements
(MRAs) dapat memfasilitasi pergerakan tenaga kerja tersebut.
2.1.4
Aliran
Modal
Dari
sisi penarikan aliran modal asing, ASEAN dikenal sebagai tujuan penanaman modal
global, AEC membuka peluang bagi Indonesia untuk dapat memanfaatkan aliran
modal masuk ke kawasan yang kemudian ditempatkan di aset berdenominasi rupiah.
Sedangkan dari sisi peningkatan kapasitas dan kualitas lembaga, peraturan
terkait, maupun sumber daya manusia, berbagai program kerja sama regional yang
dilakukan tidak terlepas dari keharusan melakukan harmonisasi, standarisasi,
maupun mengikuti MRA yang telah disetujui bersama. Artinya akan terjadi proses
perbaikan kapasitas di berbagai institusi, sektor maupun peraturan terkait.
Sebagai contoh adalah penerapan ASEAN Single Window yang seharusnya dilakukan
pada tahun 2008 (hingga saat ini masih dalam proses) untuk ASEAN-6 mengharuskan
penerapan sistem National Single Window (NSW) di masing-masing negara.
Dari
berbagai peluang diatas, terdapat juga beberapa tantangan yang harus dihadapi
Indonesia dalam menghadapi MEA, diantaranya :
1. Laju Peningkatan Ekpor dan
Impor.
Tantangan
yang dihadapi oleh Indonesia memasuki integrasi ekonomi ASEAN tidak hanya yang
bersifat internal di dalam negeri tetapi terlebih lagi persaingan dengan negara
sesama ASEAN dan negara lain di luar ASEAN seperti China dan India. Kinerja
ekspor selama periode 2004 – 2008 yang berada di urutan ke-4 setelah Singapura,
Malaysia, dan Thailand, dan importer tertinggi ke-3 setelah Singapura dan
Malaysia, merupakan tantangan yang sangat serius ke depan karena telah
mengakibatkan neraca perdagangan Indonesia yang defisit terhadap beberapa negara
ASEAN tersebut. Ancaman yang diperkirakan lebih serius lagi adalah perdagangan
bebas ASEAN dengan China. Hingga tahun 2007, nilai perdagangan Indonesia dengan
China masih mengalami surplus, akan tetapi pada tahun 2008, Indonesia mengalami
defisit sebesar +US$ 3600 juta. Apabila kondisi daya saing Indonesia tidak
segera diperbaiki, nilai defisit perdagangan dengan China akan semakin
meningkat. Akhir-akhir ini para pelaku usaha khususnya yang bergerak di sektor
industri petrokimia hulu, baja, tekstil dan produk tekstil, alas kaki serta
elektronik, menyampaikan kekhawatirannya dengan masuknya produk-produk sejenis
dari China dengan harga yang relative lebih murah dari produksi dalam negeri
(Media Indonesia, 26 Nopember 2009).
2.
Laju
Inflasi.
Tantangan
lainnya adalah laju inflasi Indonesia yang masih tergolong tinggi bila
dibandingkan dengan negara lain di kawasan ASEAN. Stabilitas makro masih
menjadi kendala peningkatan daya saing Indonesia dan tingkat kemakmuran
Indonesia juga masih lebih rendah dibandingkan negara lain. Populasi Indonesia
yang terbesar di ASEAN membawa konsekuensi tersendiri bagi pemerataan
pendapatan, 3 (tiga) Negara ASEAN yang lebih baik dalam menarik PMA mempunyai
pendapatan per kapita yang lebih tinggi dari Indonesia.
3.
Dampak
Negatif Arus Modal yang Lebih Bebas.
Arus
modal yang lebih bebas untuk mendukung transaksi keuangan yang lebih efisien,
merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan, memfasilitasi perdagangan
internasional, mendukung pengembangan sektor keuangan dan akhirnya meningkatkan
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Namun demikian, proses liberalisasi arus
modal dapat menimbulkan ketidakstabilan melalui dampak langsungnya pada
kemungkinan pembalikan arus modal yang tiba-tiba maupun dampak tidak
langsungnya pada peningkatan permintaaan domestik yang akhirnya berujung pada
tekanan inflasi. Selain itu, aliran modal yang lebih bebas di kawasan dapat
mengakibatkan terjadinya konsetrasi aliran modal ke Negara tertentu yang
dianggap memberikan potensi keuntungan lebih menarik. Hal ini kemudian dapat
menimbulkan risiko tersendiri bagi stabilitas makroekonomi.
4.
Kesamaan
Produk.
Hal
lain yang perlu dicermati adalah kesamaan keunggulan komparatif kawasan ASEAN,
khususnya disektor pertanian, perikanan, produk karet, produk berbasis kayu,
dan elektronik. Kesamaan jenis produk ekspor unggulan ini merupakan salah satu
penyebab pangsa perdagangan intra-ASEAN yang hanya berkisar 20-25 persen dari
total perdagangan ASEAN. Indonesia perlu melakukan strategi peningkatan nilai
tambah bagi produk eskpornya sehingga mempunyai karakteristik tersendiri dengan
produk dari Negara-negara ASEAN lainnya.
5.
Daya
Saing Sektor Prioritas Integrasi.
Tantangan
lain yang juga dihadapi oleh Indonesia adalah peningkatan keunggulan komparatif
di sektor prioritas integrasi. Saat ini Indonesia memiliki keunggulan di
sektor/komoditi seperti produk berbasis kayu, pertanian, minyak sawit,
perikanan, produk karet dan elektronik, sedangkan untuk tekstil, elektronik,
mineral (tembaga, batu bara, nikel), mesin-mesin, produk kimia, karet dan
kertas masih dengan tingkat keunggulan yang terbatas.
6.
Daya
Saing SDM.
Kemampuan
bersaing SDM tenaga kerja Indonesia harus ditingkatkan baik secara formal
maupun informal. Kemampuan tersebut diharapkan harus minimal memenuhi ketentuan
dalam MRA yang telah disetujui. Pada tahun 2008-2009, Mode 3 pendirian
perusahaan (commercial presence) dan Mode 4 berupa mobilitas tenaga kerja
(movement of natural persons) intra ASEAN akan diberlakukan untuk sektor prioritas
integrasi. Untuk itu, Indonesia harus dapat meningkatkan kualitas tenaga
kerjanya sehingga bisa digunakan baik di dalam negeri maupun intra-ASEAN, untuk
mencegah banjirnya tenaga kerja terampil dari luar. Pekerjaan ini tidaklah
mudah karena memerlukan adanya cetak birum sistem pendidikan secara menyeluruh,
dan sertifikasi berbagai profesi terkait. Tingkat Perkembangan Ekonomi.
2.2 Radiografer dalam menghadapi MEA
Memasuki
era MEA menuntut Radiografer indonesia untuk meningkatkan skill, komunikasi
demi dapat bersaing dengan Radiografer asing dari seluruh negara ASEAN.
Implementasi dari MEA ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi Radiografer di Indonesia untuk dapat bekerja
di pusat pelayanan kesehatan di seluruh negara ASEAN. Salah satu cara untuk meningkatkan
kompetensi dan profesionalisme adalah melalui pelatihan dan pendidikan informal misal seminar dan workshop tentang
peningkatan skill dan komunikasi Radiografer.
Radiografer harus segera menyusun langkah strategis yang dapat diimplementasikan
secara target specific agar peluang pasar yang terbuka dapat dimanfaatkan
secara optimal.
2.3 Persiapan Radiografer
dalam Menghadapi Asean Economic Community (AEC).
2.3.1
Penguasaan
Bahasa (Komunikasi).
Bahasa merupakan salah satu
aspek penting, hal ini karena banyak
negara yang mensyaratkan untuk praktisi
kesehatan dalam hal ini Radiografer yang akan bekerja di negara tersebut harus
mampu menggunakan bahasa nasional mereka. Indonesia juga telah berencana
menerapkan kemampuan berbahasa sebagai
salah satu prosedur dalam praktek Radiografer asing, ditunjukkan dengan
Ketetapan Kementrian Kesehatan bahwa tenaga kesehatan asing yang
masuk ke Indonesia harus menguasai Bahasa Indonesia. Hal ini sudah lama tercium
sehingga banyak Radiografer asing yang
telah mempersiapkan diri dengan mempelajari sekaligus menguasai bahasa
Indonesia untuk dapat bekerja di Indonesia.
Berbanding
terbalik dengan kondisi Indonesia, hingga saat ini belum ada persiapan khusus
dalam mempelajari bahasa asing di tingkat Asia Tenggara. Kemampuan bahasa asing
belum terlihat implementasinya dalam kurikulum pembelajaran setiap institusi
dan akhirnya hanya dibebankan pada
individu yang secara sukarela belajar secara mandiri. Maka berdasarkan
ketetapan tersebut, tenaga kesehatan Indonesia termasuk Radiografer yang berkeinginan
untuk bekerja di suatu negara harus menguasai bahasa di negara tersebut.
Minimal Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional.
2.3.2
Pengembangan
Karakter Radiografer.
Karakter
merupakan aktualisasi dari soft skill seseorang, yang mana karakter merupakan
cara berpikir dan perilaku yang menunjukkan cirri khas dari seseorang dan
bekerjasama dengan orang lain dan mampu bertanggung jawab dengan apa yang
menjadi keputusannya. Soft skill pada Radiografer dapat dibangun dan
dikembangkan, oleh karena itu pengembangan soft skill melalui berbagai
pelatihan tidak jauh berbeda dengan apa yang sekarang dikenal dengan
pengembangan karakter bangsa.
Elfindri,
dkk (2011: 10) mendefinisikan soft skills sebagai keterampilan hidup yang sangat menentukan keberhasilan
seseorang, yang wujudnya antara lain berupa kerja keras, eksekutor, jujur,
visioner, dan disiplin. Soft skills merupakan ketrampilan dan kecakapan
hidup yang harus dimiliki baik untuk diri sendiri, kelompok, atau
bermasyarakat, serta berhubungan dengan sang Pencipta. Menurut Kaipa &
Milus (2005; 3-6) bahwa soft skills adalah kunci untuk meraih kesuksesan,
termasuk di dalamnya kepemimipinan, pengambilan keputusan, penyelesaian
komplik, komunikasi, kreativitas, kemampuan presentasi, kerendahan hati dan
kepercayaan diri, kecerdasan emosional, interitas, komitmen dan kerja keras.
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh negara-negara Inggris, Amerika dan Kanada, ada
23 atribut soft skills yang dominan di lapangan kerja. Ke 23 atribut
tersebut diurutkan berdasarkan prioritas kepentingan di dunia kerja, yaitu:
1. Inisiatif 13.
Manajemen diri
2. Etika/integritas 14.
Menyelesaikan persoalan
3. Berfikir kritis 15.
Dapat meringkas
4. Kemauan belajar 16. Berkoperasi
5. Komitmen 17.
Fleksibel
6. Motivasi 18.
Kerja dalam tim
7. Bersemangat 19.
Mandiri
8. Dapat diandalkan 20.
Mendengarkan
9. Komunikasi lisan 21. Tangguh
10. Kreatif 22.
Berargumentasi logis
11. Kemampuan analitis 23. Manajemen waktu
12. Dapat mengatasi stress
Undang-
undang nomor 12 tahun 2012 menyatakan bahwa untuk meningkatkan daya saing
bangsa dalam menghadapi globalisasi di segala bidang, diperlukan pendidikan
tinggi yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menghasilkan intelektual, ilmuwan, dan/atau
profesional yang berbudaya dan kreatif, toleran, demokratis, berkarakter
tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan bangsa. Hal
tersebutlah yang menunjukkan tuntutan untuk mengembangkan soft skill bagi
Radiografer.
2.3.3
Penguasaan
Teknologi
Di era globalisasi , teknologi dianggap
sebagai teman keseharian. Hal itu disebabkan manusia dalam menjalankan
aktivitasnya akan selalu menggunakan teknologi meskipun teknologi yang
digunakan masih sederhana. Hal itu juga berlaku bagi Radiografer karena Radiografer
selalu menggunakan teknologi dalam melakukan pelayanan kepada pasien.
Perkembangan teknologi jauh lebih cepat
dibandingkan dengan tingkat kemahiran seseorang pada suatu teknologi pada
jangka waktu tertentu. Oleh sebab itu perlu adanya kemampuan penguasaan
teknologi dengan baik serta selalu update mengenai teknologi terkini yang dapat
dipelajari Radiografer. Hal tersebut dilakukan agar
tenaga kerja mampu mengup-date keahlian mereka sehingga daya saing mereka terhadap
praktisi kesehatan asing juga akan meningkat.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian mengenai peningkatan skill dan
komunikasi Radiografer dalam meghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.
Gambaran karakteristik utama MEA adalah
pasar tunggal dan basis produksi, kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi,
kawasan dengan pembangunan ekonomi yang adil, dan kawasan yang terintegrasi ke
dalam ekonomi global. Dampak terciptanya MEA adalah terciptanya pasar bebas di bidang permodalan,
barang dan jasa, serta tenaga kerja.
2.
Salah satu cara untuk meningkatkan
kompetensi dan profesionalisme adalah melalui pelatihan dan pendidikan informal misal seminar dan workshop tentang
peningkatan skill dan komunikasi Radiografer.
3.
Bahasa merupakan salah satu aspek penting, hal ini karena banyak negara yang mensyaratkan
untuk praktisi kesehatan dalam hal ini Radiografer yang akan bekerja di
negara tersebut harus mampu menggunakan bahasa nasional mereka. Radiografer
yang berkeinginan untuk bekerja di suatu negara harus menguasai bahasa di
negara tersebut. Minimal Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional.
4.
Soft skill pada Radiografer dapat
dibangun dan dikembangkan, oleh karena itu pengembangan soft skill melalui
berbagai pelatihan tidak jauh berbeda dengan apa yang sekarang dikenal dengan
pengembangan karakter bangsa
5.
Diperlukan kemampuan penguasaan
teknologi oleh Radiografer agar tenaga kerja mampu mengup-date keahlian mereka
sehingga daya saing mereka terhadap praktisi kesehatan asing juga akan meningkat.
4.2 Saran
Dalam menghadapi
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang telah merambah ke berbagai negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia, diperlukan upaya
persiapan khususnya Radiografer sebagai tenaga kerja kesehatan Indonesia untuk bisa bersaing dengan tenaga kerja asing dari
negara tetangga. Persiapan tersebut seharusnya dimulai dari tingkat perguruan
tinggi sebagai awal pencetak calon-calon Radiografer. Perguruan tinggi dapat
bekerja sama dengan Institusi pemeritah dalam upaya peningkatan skill dan komunikasi
yang baik agar tenaga kesehatan Indonesia nantinya merupakan tenaga kesehatan
yang siap bersaing ditingkat Internasional.
DAFTAR
PUSTAKA
Kaipa P &
Milus T. 2005. Soft Skills are Smart Skills. Jakarta: Praninta Offset
Diunduh dari
Jurnal
RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm 163-182
ASEAN Concord II/Bali Concord
II,/http://www.aseansec.org)/15159.htm (Diakses tanggal 21 Februari 2016)