Kamis, 23 Juni 2016

MAKALAH PENGARUH MEA TERHADAP BIDANG RADIOLOGI, KTI LOMBA CLASSMEET 2016 JTRR SEMARANG

ABSTRAK

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)  merupakan realisasi pasar bebas di Asia Tenggara yang sebelumnya telah disebut dalam Framework Agreement on Enhancing  ASEAN  Economic Cooperation  pada tahun 1992. Sebagai negara berkembang, Indonesia merupakan negara yang cukup diminati oleh negara asing. Radiografer sebagai  salah  satu  tenaga  kesehatan, wajib untuk berbebah diri dalam  menghadapi MEA ini, Oleh karena itu dperlukan  upaya peningkatan profesionalisme Radiografer Idonesia melalui pelatihan dan pendidikan informal misal seminar dan workshop tentang peningkatan skill dan komunikasi Radiografer. Saat ini banyak negara yang mensyaratkan  untuk praktisi kesehatan yang akan bekerja di negara tersebut harus mampu  menggunakan bahasa nasional mereka. Kemampuan bahasa asing belum terlihat implementasinya dalam  kurikulum pembelajaran institusi di Indonesia, tenaga kesehatan Indonesia termasuk Radiografer yang berkeinginan untuk bekerja di suatu negara harus menguasai bahasa di negara tersebut. Minimal Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Karakter merupakan aktualisasi dari soft skill seseorang, yang mana karakter merupakan cara berpikir dan perilaku yang menunjukkan ciri khas dari seseorang dan bekerjasama dengan orang lain dan mampu bertanggung jawab dengan apa yang menjadi keputusannya. Soft skill pada Radiografer dapat dibangun dan dikembangkan, oleh karena itu pengembangan soft skill melalui berbagai pelatihan tidak jauh berbeda dengan apa yang sekarang dikenal dengan pengembangan  karakter bangsa. Perkembangan teknologi jauh lebih cepat dibandingkan dengan tingkat kemahiran seseorang maka dari itu diharapkan Radiografer Indonesia dapat menguasai teknologi dengan baik serta selalu up to date mengenai teknologi terkini yang berkembang dalam dunia Radiologi. Hal tersebut dilakukan agar tenaga kerja mampu mengup-date keahlian mereka sehingga daya saing mereka terhadap praktisi kesehatan asing juga akan meningkat.


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Globalisasi adalah suatu proses yang menyeluruh atau mendunia dimana setiap orang tidak terikat oleh negara atau batas-batas wilayah, artinya setiap individu dapat terhubung dan saling bertukar informasi dimanapun dan kapanpun melalui media elektronik maupun cetak. Globalisasi dapat menjadikan suatu negara lebih kecil karena kemudahan komunikasi antarnegara dalam berbagai sektor seperti pertukaran informasi, perdagangan, maupun sektor lainnya. Pengaruh globalisasi di berbagai sektor yang mengarah pada pasar bebas tidak bisa dihindari oleh negara-negara diseluruh dunia termasuk diantaranya Indonesia. Di era ini, kemajuan teknologi dan informasi berkembang pesat. Globalisasi mempengaruhi perubahan di semua sektor, tidak terkecuali di bidang kesehatan. Apalagi diberlakukannya Asean Free Trade Area (AFTA) atau istilah lainnya Mayarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir  tahun 2015 lalu.
MEA merupakan realisasi pasar bebas di Asia Tenggara yang sebelumnya telah disebut dalam Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation pada tahun 1992. Pada pertemuan tingkat Kepala Negara ASEAN (ASEAN Summit) ke-5 di Singapura pada tahun 1992 tersebut para Kepala Negara mengumumkan pembentukan suatu kawasan perdagangan bebas di ASEAN (AFTA) dalam jangka waktu 15 tahun. Kemudian dalam perkembangannya dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002. (www.tarif.depkeu.go.id).
Sebagai negara berkembang, Indonesia merupakan negara yang cukup diminati oleh negara asing. Pertama, karena memiliki potensi pasar yang besar terkait dengan jumlah penduduk yang besar yaitu lebih dari 200 juta penduduk. Kedua, kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup menjanjikan. Dengan potensi pasar yang besar tidak mengherankan jika kelak banyak tenaga kesehatan asing yang berniat bekerja di Indonesia. Hal ini tampaknya sangat menakutkan bagi profesi kesehatan, seperti kita ketahui kualitas sumber daya manusia kesehatan kita masih tergolong rendah serta penguasaan teknologi yang terbatas pula. Dalam rangka diberlakukannya sistem AFTA atau MEA ini, Kementerian Kesehatan telah bekerja sama dengan beberapa negara lain diantaranya Saudi Arabia, Inggris, Kuwait, Belanda, Singapura, Amerika, Norwgia, dan Malaysia untuk pengiriman tenaga kesehatan Indonesia ke negara-negara tersebut.
Radiografer sebagai salah satu tenaga kesehatan, wajib untuk berbenah diri untuk menghadapi MEA ini, peluang dan tantangan yang menghadang harus diterobos (breakthrough) dengan peningkatan mutu dan profesionalisme Radiografer Indonesia melalui Skill dan kemampuan berkomunikasi yang dimiliki. Setiap Radiografer harus memiliki skill yang mumpuni serta komunikasi yang baik dalam hal ini kemampuan berbahasa internasional agar mampu bersaing dengan Radiografer asing dari negara lain. Oleh karena itu perlunya meningkatkan skill dan komunikasi yang dimiliki Radiografer sebagai kesiapan dalam menghadapi persaingan pasar global MEA. Berkaitan dengan hal tersebut, kami tertarik mengangkatnya dalam bentuk Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Peningkatan Skill dan Komunikasi Radiografer dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)”.

1.2    Rumusan Masalah
1.         Apa saja peluang dan tantangan Indonesia dalam menghadapi MEA?
2.         Apa saja yang harus dilakukan Radiografer dalam menghadapi MEA?
3.         Apa saja upaya Radiografer dalam meningkatkan komunikasi dan skill menghadapi MEA?

1.3    Tujuan Penulisan
1.         Untuk mengetahui  peluang dan  tantangan Indonesia dalam mengahadapi MEA.
2.         Untuk mengetahui hal yang harus dilakukan Radiografer dalam menghadapi MEA.
3.         Untuk mengetahui upaya peningkatan skill dan komunikasi Radiografer Indonesia dalam menghadapi MEA.

1.4    Manfaat Penulisan
1.         Bagi Penulis dan Pembaca
Dapat menambah pengetahuan mengenai upaya peningkatan skill dan komunikasi radiografer dalam menghadapi MEA.
2.         Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai masukan atau bahan pertimbangan mengenai peningkatan skill dan komunikasi dalam mencetak calon radiografer yang mampu bersaing dengan radiografer asing.
















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Masyarakat Ekonomi ASEAN
Disepakatinya Visi ASEAN 2020 pada bulan Desember 1997 di Kuala Lumpur menandai sebuah babak baru dalam sejarah integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Dalam deklarasi tersebut, pemimpin negara-negara ASEAN sepakat untuk mentransformasikan kawasan Asia Tenggara menjadi sebuah kawasan yang stabil, sejahtera dan kompetitif, didukung oleh pembangunan ekonomi yang seimbang, pengurangan angka kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi di antara negara-negara anggotanya. Komitmen untuk menciptakan suatu Masyarakat ASEAN (ASEAN Community) sebagaimana dideklarasikan dalam visi tersebut, kemudian  semakin dikukuhkan melalui  ASEAN Concord II pada Pertemuan Puncak di Bali Oktober 2003, atau yang lebih dikenal sebagai Bali Concord II, di mana para pemimpin ASEAN mendeklarasikan pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) sebagai tujuan dari integrasi ekonomi kawasan pada 2020. (ASEAN Concord II/Bali Concord II,http://www.aseansec.org)
Dalam Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN (ASEAN Economic Ministers Meeting-AEM) yang diselenggarakan pada bulan  Agustus 2006 di Kuala Lumpur,  komitmen yang kuat menuju terbentuknya integrasi ekonomi kawasan ini dijawantahkan  ke dalam gagasan pengembangan sebuah cetak biru menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN yang kemudian secara terperinci disahkan dan diadopsi oleh seluruh negara anggota ASEAN pada November 2006. Bahkan, sebelumnya dalam Pertemuan Puncak ASEAN ke-12 pada Januari 2007, para pemimpin ASEAN sepakat untuk mempercepat pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun 2015 dan mentransformasikan ASEAN menjadi sebuah kawasan  di mana barang, jasa, investasi, pekerja terampil, dan arus modal dapat bergerak dengan bebas.

2.2  Skill
Dalam kaitan antisipasi menghadapi penerapan MEA, pendidikan merupakan unsur penting yang harus mendapat prioritas utama. Pendidikan diharapkan mempunyai outcome berupa life skill, yang menjadi bagian konsep dasar pendidikan nasional. Life skill merupakan kemampuan, kesanggupan  dan  ketrampilan yang harus dimiliki dalam menjalani proses kehidupan. Sehingga sanggup bersaing dan  terampil dalam menjaga kelangsungan hidup dan tantangan pada masa depan (Ilahi, Takdir. 2012).
 Hal  yang  perlu disiapkan dalam menghadapi  MEA  adalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal dan mampu bersaing dengan sumber daya manusia dari anggota MEA yang lain. Penyiapan sumber daya manusia yang dilakukan salah  satunya  melalui jalur pendidikan tinggi yaitu pada mahasiswa-mahasiswa yang  ada di kampus. Mahasiswa yang rata-rata berusia 20 tahun, merupakan  asset  bangsa yang  sangat berharga karena mahasiswa masih berada pada masa-masa keemasan dalam  mencari jati diri. Perguruan tinggi menjadi  ladang yang sangat luas untuk menggali ilmu yang diperlukan di masa depan. Sehingga mahasiswa lulus dengan harapan sudah mempunyai beberapa kompetensi atau memiliki kemampuan (skill) pada dirinya. Kompetensi mahasiswa lulus dan siap untuk menghadapi MEA bukan hanya kompetensi akademik (intelektual) saja yang dibutuhkan. Karena persaingan yang sangat terbuka akan hadir di MEA dalam ajang mencari sumber daya manusia yang mempunyai kualifikasi dan sertifikasi keahlian tertentu. Maka lulusan perguruan tinggi harus benar-benar  memberikan  outcome dalam memenuhi harapan dalam dunia MEA nantinya. Lulusan perguruan tinggi dituntut harus memiliki hard skills dan sekaligus soft skills (karakter). Kemampuan hard skills merupakan kemampuan penguasaan pada aspek teknis dan pengetahuan yang harus dimiliki sesuai dengan kepakatan ilmunya. Soft skills adalah keterampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (interpersonal skills) dan keterampilan dalam mengatur dirinya sendiri (intrapersonal skills) yang mampu mengembangkan unjuk kerja secara maksimal. Soft skills merupakan keterampilan dan kecakapan hidup, baik untuk sendiri maupun kecakapan dengan orang lain. Hard skills dan soft skills merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, di dalam implementasi kehidupan saling beriringan. Sehingga terjadi keseimbangan dalam mencapai tujuan hidup.
Oleh sebab itu, pembinaan  karakter  pada  mahasiswa perlu dibangun atau dikuatkan contohnya membangun kepercayaan diri, motivasi diri, manajemen waktu, mempunyai kreatif dan inovatif berpikir positif, serta membangun komunikasi  dengan  orang lain. Selain itu, menumbuhkan jiwa berwirausaha pada mahasiswa juga sangat penting dilihat sebagai sasaran MEA adalah bagaimana  sistem  perdagangan menjadi tujuan utama, dan  karakter-karakter lain yang perlu bangun dan dikembangakan dalam diri mahasiswa. Kemampuan-kemampuan tersebut dapat dilatih dan dikembangkan melalui pendidikan, organisasi dan pelatihan-pelatihan khusus. Dengan demikian, pendidikan tinggi berperan penting dalam pembentukan karakter anak bangsa. Pembahasan tentang bagaimana pendidikan, khususnya pendidikan tinggi harus merespon dengan tepat agar dapat menyiapkan SDM yang berkualitas agar siap menghadapi MEA dengan cara penguatan karakter tentu perlu diungkap dengan jelas. Dengan penguatan karakter pada mahasiswa diharapkan mampu menciptakan generasi-generasi bangsa yang siap bersaing pada era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.

2.3 Komunikasi
Bahasa pada hakikatnya adalah ucapan pikiran dan perasan manusia secara teratur, yang  mempergunakan bunyi sebagai alatnya (Depdiknas, 2005: 3). Sementara itu menurut Harun Rasyid, Mansyur & Suratno (2009: 126)  bahasa merupakan struktur dan makna yang bebas dari penggunanya, sebagai tanda yang menyimpulkan suatu tujuan. Sedangkan bahasa menurut kamus besar Bahasa Indonesia (Hasan Alwi,2002:88) bahasa berarti sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh semua orang atau anggota masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri dalam bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik.
Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia (Hasan Alwi,2002:707-708) kemampuan berasal dari kata mampu yang berarti yang pertama kuasa (bisa, sanggup) melakukan sesuatu dan kedua berada. Kemampuan sendiri mempunyai arti kesanggupan, kecakapan, kekuatan, kekayaan. Sedangkan kemampuan menurut bahasa berarti kemampuan seseorang menggunakan bahasa yang memadai dilihat dari sistem bahasa, antara lain mencakup sopan santun, memahami giliran dalam bercakap-cakap. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan bahasa merupakan kesanggupan, kecakapan, kekayaan ucapan pikiran dan perasaan manusia melalui bunyi yang arbiter, digunakan untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri dalam percakapan yang baik.












BAB III
HASIL PEMBAHASAN

2.1    Peluang dan Tantangan Indonesia dalam menghadapi MEA
Gambaran karakteristik utama MEA adalah pasar tunggal dan basis produksi, kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi, kawasan dengan pembangunan ekonomi yang adil, dan kawasan yang terintegrasi ke dalam ekonomi global. Dampak terciptanya MEA adalah terciptanya pasar bebas di bidang permodalan, barang dan jasa, serta tenaga kerja. Konsekuensi atas kesepakatan MEA yakni dampak aliran bebas barang bagi negara-negara ASEAN, dampak arus bebas jasa, dampak arus bebas investasi, dampak arus tenaga kerja terampil, dan dampak arus bebas modal..Dari karakter dan dampak MEA tersebut sebenarnya ada peluang dari kegiatan MEA yang bisa diraih Indonesia. Peluang tersebut diantaranya :
2.1.1        Manfaat Integrasi Ekonomi
Kesediaan Indonesia bersama-sama dengan 9 (sembilan) Negara ASEAN lainnya membentuk ASEAN Economic Community (AEC) pada tahun 2015 tentu saja didasarkan pada keyakinan atas manfaat yang secara konseptual akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan kawasan ASEAN. Integrasi ekonomi dalam mewujudkan AEC 2015 melalui pembukaan dan pembentukan pasar yang lebih besar, dorongan peningkatan efisiensi dan daya saing, serta pembukaan peluang penyerapan tenaga kerja di kawasan ASEAN, akan meningkatkan kesejahteraan seluruh negara.
Pasar Potensial Dunia. Pewujudan AEC di tahun 2015 akan menempatkan ASEAN  sebagai kawasan pasar terbesar ke-3 di dunia yang didukung oleh jumlah penduduk ke-3 terbesar (8% dari total penduduk dunia) di dunia setelah China dan India. Pada tahun 2008, jumlah penduduk ASEAN sudah mencapai 584 juta orang (ASEAN Economic Community Chartbook, 2009), dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan usia mayoritas berada pada usia produktif. Pertumbuhan ekonomi individu Negara ASEAN juga meningkat dengan stabilitas makroekonomi ASEAN yang cukup terjaga dengan inflasi sektitar 3,5 persen. Jumlah penduduk Indonesia yang terbesar di kawasan (40% dari total penduduk ASEAN) tentu saja merupakan potensi yang sangat besar bagi Indonesia menjadi negara ekonomi yang produktif dan dinamis yang dapat memimpin pasar ASEAN di masa depan.
2.1.2        Negara Tujuan Investor
 Sebagai pasar bebas yang memiliki basis produksi, ASEAN memiliki faktor yang mendorong meningkatnya investasi di dalam negeri masing-masing anggota dan intra-ASEAN serta masuknya investasi asing ke kawasan dalam negri. Sebagai Negara dengan jumlah penduduk terbesar (40%) diantara Negara Anggota ASEAN, Indonesia diharapkan mampu menarik investor ke dalam negeri dan mendapat peluang ekonomi yang lebih besar.
2.1.3        Daya Saing
Indonesia sebagai salah satu negara besar yang juga memiliki tingkat integrasi tinggi di sektor elektronik dan keunggulan komparatif pada sektor berbasis sumber daya alam, berpeluang besar untuk mengembangkan industri di sektor-sektor di dalam negeri. Di bidang jasa, ASEAN juga memiliki kondisi yang memungkinkan agar pengembangan sektor jasa dapat dibuka seluas-luasnya. Sektor-sektor jasa prioritas yang telah ditetapkan yaitu pariwisata, kesehatan, penerbangan dan e-ASEAN. Namun, perkembangan jasa prioritas di ASEAN belum merata, hanya beberapa negara ASEAN yang mempunyai perkembangan jasa yang sudah berkembang seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. Kemajuan ketiga negara tersebut dapat dimanfaatkan sebagai penggerak dan acuan untuk perkembangan liberalisasi jasa di ASEAN.
Dari sisi jumlah tenaga kerja, Indonesia yang mempunyai penduduk yang sangat besar dapat menyediakan tenaga kerja yang cukup dan pasar yang besar, sehingga menjadi pusat industri. Selain itu,Indonesia dapat menjadikan ASEAN sebagai tujuan pekerjaan guna mengisi investasi yang akan dilakukan dalam rangka AEC 2015. Standardisasi yang dilakukan melalui Mutual Recognition Arrangements (MRAs) dapat memfasilitasi pergerakan tenaga kerja tersebut.
2.1.4      Aliran Modal 
Dari sisi penarikan aliran modal asing, ASEAN dikenal sebagai tujuan penanaman modal global, AEC membuka peluang bagi Indonesia untuk dapat memanfaatkan aliran modal masuk ke kawasan yang kemudian ditempatkan di aset berdenominasi rupiah. Sedangkan dari sisi peningkatan kapasitas dan kualitas lembaga, peraturan terkait, maupun sumber daya manusia, berbagai program kerja sama regional yang dilakukan tidak terlepas dari keharusan melakukan harmonisasi, standarisasi, maupun mengikuti MRA yang telah disetujui bersama. Artinya akan terjadi proses perbaikan kapasitas di berbagai institusi, sektor maupun peraturan terkait. Sebagai contoh adalah penerapan ASEAN Single Window yang seharusnya dilakukan pada tahun 2008 (hingga saat ini masih dalam proses) untuk ASEAN-6 mengharuskan penerapan sistem National Single Window (NSW) di masing-masing negara.
Dari berbagai peluang diatas, terdapat juga beberapa tantangan yang harus dihadapi Indonesia dalam menghadapi MEA, diantaranya :
1.      Laju Peningkatan Ekpor dan Impor. 
Tantangan yang dihadapi oleh Indonesia memasuki integrasi ekonomi ASEAN tidak hanya yang bersifat internal di dalam negeri tetapi terlebih lagi persaingan dengan negara sesama ASEAN dan negara lain di luar ASEAN seperti China dan India. Kinerja ekspor selama periode 2004 – 2008 yang berada di urutan ke-4 setelah Singapura, Malaysia, dan Thailand, dan importer tertinggi ke-3 setelah Singapura dan Malaysia, merupakan tantangan yang sangat serius ke depan karena telah mengakibatkan neraca perdagangan Indonesia yang defisit terhadap beberapa negara ASEAN tersebut. Ancaman yang diperkirakan lebih serius lagi adalah perdagangan bebas ASEAN dengan China. Hingga tahun 2007, nilai perdagangan Indonesia dengan China masih mengalami surplus, akan tetapi pada tahun 2008, Indonesia mengalami defisit sebesar +US$ 3600 juta. Apabila kondisi daya saing Indonesia tidak segera diperbaiki, nilai defisit perdagangan dengan China akan semakin meningkat. Akhir-akhir ini para pelaku usaha khususnya yang bergerak di sektor industri petrokimia hulu, baja, tekstil dan produk tekstil, alas kaki serta elektronik, menyampaikan kekhawatirannya dengan masuknya produk-produk sejenis dari China dengan harga yang relative lebih murah dari produksi dalam negeri (Media Indonesia, 26 Nopember 2009).
2.      Laju Inflasi.
Tantangan lainnya adalah laju inflasi Indonesia yang masih tergolong tinggi bila dibandingkan dengan negara lain di kawasan ASEAN. Stabilitas makro masih menjadi kendala peningkatan daya saing Indonesia dan tingkat kemakmuran Indonesia juga masih lebih rendah dibandingkan negara lain. Populasi Indonesia yang terbesar di ASEAN membawa konsekuensi tersendiri bagi pemerataan pendapatan, 3 (tiga) Negara ASEAN yang lebih baik dalam menarik PMA mempunyai pendapatan per kapita yang lebih tinggi dari Indonesia.
3.      Dampak Negatif Arus Modal yang Lebih Bebas. 
Arus modal yang lebih bebas untuk mendukung transaksi keuangan yang lebih efisien, merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan, memfasilitasi perdagangan internasional, mendukung pengembangan sektor keuangan dan akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Namun demikian, proses liberalisasi arus modal dapat menimbulkan ketidakstabilan melalui dampak langsungnya pada kemungkinan pembalikan arus modal yang tiba-tiba maupun dampak tidak langsungnya pada peningkatan permintaaan domestik yang akhirnya berujung pada tekanan inflasi. Selain itu, aliran modal yang lebih bebas di kawasan dapat mengakibatkan terjadinya konsetrasi aliran modal ke Negara tertentu yang dianggap memberikan potensi keuntungan lebih menarik. Hal ini kemudian dapat menimbulkan risiko tersendiri bagi stabilitas makroekonomi.
4.      Kesamaan Produk. 
Hal lain yang perlu dicermati adalah kesamaan keunggulan komparatif kawasan ASEAN, khususnya disektor pertanian, perikanan, produk karet, produk berbasis kayu, dan elektronik. Kesamaan jenis produk ekspor unggulan ini merupakan salah satu penyebab pangsa perdagangan intra-ASEAN yang hanya berkisar 20-25 persen dari total perdagangan ASEAN. Indonesia perlu melakukan strategi peningkatan nilai tambah bagi produk eskpornya sehingga mempunyai karakteristik tersendiri dengan produk dari Negara-negara ASEAN lainnya.
5.      Daya Saing Sektor Prioritas Integrasi.
Tantangan lain yang juga dihadapi oleh Indonesia adalah peningkatan keunggulan komparatif di sektor prioritas integrasi. Saat ini Indonesia memiliki keunggulan di sektor/komoditi seperti produk berbasis kayu, pertanian, minyak sawit, perikanan, produk karet dan elektronik, sedangkan untuk tekstil, elektronik, mineral (tembaga, batu bara, nikel), mesin-mesin, produk kimia, karet dan kertas masih dengan tingkat keunggulan yang terbatas.


6.      Daya Saing SDM. 
Kemampuan bersaing SDM tenaga kerja Indonesia harus ditingkatkan baik secara formal maupun informal. Kemampuan tersebut diharapkan harus minimal memenuhi ketentuan dalam MRA yang telah disetujui. Pada tahun 2008-2009, Mode 3 pendirian perusahaan (commercial presence) dan Mode 4 berupa mobilitas tenaga kerja (movement of natural persons) intra ASEAN akan diberlakukan untuk sektor prioritas integrasi. Untuk itu, Indonesia harus dapat meningkatkan kualitas tenaga kerjanya sehingga bisa digunakan baik di dalam negeri maupun intra-ASEAN, untuk mencegah banjirnya tenaga kerja terampil dari luar. Pekerjaan ini tidaklah mudah karena memerlukan adanya cetak birum sistem pendidikan secara menyeluruh, dan sertifikasi berbagai profesi terkait. Tingkat Perkembangan Ekonomi.

2.2  Radiografer dalam menghadapi MEA
Memasuki era MEA menuntut Radiografer indonesia untuk meningkatkan skill, komunikasi demi dapat bersaing dengan Radiografer asing dari seluruh negara ASEAN. Implementasi dari MEA ini merupakan tantangan  sekaligus peluang bagi  Radiografer di Indonesia untuk dapat bekerja di pusat pelayanan kesehatan di seluruh negara ASEAN. Salah satu cara untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme adalah melalui pelatihan dan pendidikan  informal misal seminar dan workshop tentang peningkatan skill dan komunikasi Radiografer.
Radiografer harus segera menyusun langkah strategis yang dapat diimplementasikan secara target specific agar peluang pasar yang terbuka dapat dimanfaatkan secara optimal.


2.3  Persiapan Radiografer dalam Menghadapi Asean Economic Community (AEC).
2.3.1   Penguasaan Bahasa (Komunikasi).
                 Bahasa merupakan salah satu aspek  penting, hal ini karena banyak negara yang mensyaratkan  untuk praktisi kesehatan dalam hal ini Radiografer yang akan bekerja di negara tersebut harus mampu menggunakan bahasa nasional mereka. Indonesia juga telah berencana menerapkan kemampuan  berbahasa sebagai salah satu prosedur dalam praktek Radiografer asing, ditunjukkan dengan Ketetapan Kementrian Kesehatan bahwa tenaga kesehatan  asing  yang masuk ke Indonesia harus menguasai Bahasa Indonesia. Hal ini sudah lama tercium  sehingga banyak Radiografer asing yang telah mempersiapkan diri dengan mempelajari sekaligus menguasai bahasa Indonesia untuk dapat bekerja di Indonesia.
Berbanding terbalik dengan kondisi Indonesia, hingga saat ini belum ada persiapan khusus dalam mempelajari bahasa asing di tingkat Asia Tenggara. Kemampuan bahasa asing belum terlihat implementasinya dalam kurikulum pembelajaran setiap institusi dan akhirnya hanya dibebankan  pada individu yang secara sukarela belajar secara mandiri. Maka berdasarkan ketetapan tersebut, tenaga kesehatan Indonesia termasuk Radiografer yang berkeinginan untuk bekerja di suatu negara harus menguasai bahasa di negara tersebut. Minimal Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional.
2.3.2   Pengembangan Karakter Radiografer.
Karakter merupakan aktualisasi dari soft skill seseorang, yang mana karakter merupakan cara berpikir dan perilaku yang menunjukkan cirri khas dari seseorang dan bekerjasama dengan orang lain dan mampu bertanggung jawab dengan apa yang menjadi keputusannya. Soft skill pada Radiografer dapat dibangun dan dikembangkan, oleh karena itu pengembangan soft skill melalui berbagai pelatihan tidak jauh berbeda dengan apa yang sekarang dikenal dengan pengembangan karakter bangsa.
Elfindri, dkk (2011: 10) mendefinisikan soft skills sebagai keterampilan  hidup yang sangat menentukan keberhasilan seseorang, yang wujudnya antara lain berupa kerja keras, eksekutor, jujur, visioner, dan disiplin. Soft skills merupakan ketrampilan dan kecakapan hidup yang harus dimiliki baik untuk diri sendiri, kelompok, atau bermasyarakat, serta berhubungan dengan sang Pencipta. Menurut Kaipa & Milus (2005; 3-6) bahwa soft skills adalah kunci untuk meraih kesuksesan, termasuk di dalamnya kepemimipinan, pengambilan keputusan, penyelesaian komplik, komunikasi, kreativitas, kemampuan presentasi, kerendahan hati dan kepercayaan diri, kecerdasan emosional, interitas, komitmen dan kerja keras.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh negara-negara Inggris, Amerika dan Kanada, ada 23 atribut soft skills yang dominan di lapangan kerja. Ke 23 atribut tersebut diurutkan berdasarkan prioritas kepentingan di dunia kerja, yaitu:
1. Inisiatif                                                   13. Manajemen diri
2. Etika/integritas                                       14. Menyelesaikan persoalan
3. Berfikir kritis                                          15. Dapat meringkas
4. Kemauan belajar                                     16. Berkoperasi
5. Komitmen                                               17. Fleksibel
6. Motivasi                                                  18. Kerja dalam tim
7. Bersemangat                                           19. Mandiri
8. Dapat diandalkan                                   20. Mendengarkan
9. Komunikasi lisan                                    21. Tangguh
10. Kreatif                                                  22. Berargumentasi logis
11. Kemampuan analitis                             23. Manajemen waktu
12. Dapat mengatasi stress

Undang- undang nomor 12 tahun 2012 menyatakan bahwa untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi di segala bidang, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta  menghasilkan intelektual, ilmuwan, dan/atau profesional yang berbudaya dan kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan bangsa. Hal tersebutlah yang menunjukkan tuntutan untuk mengembangkan soft skill bagi Radiografer.
2.3.3   Penguasaan Teknologi
        Di era globalisasi , teknologi dianggap sebagai teman keseharian. Hal itu disebabkan manusia dalam menjalankan aktivitasnya akan selalu menggunakan teknologi meskipun teknologi yang digunakan masih sederhana. Hal  itu  juga berlaku bagi Radiografer karena Radiografer selalu menggunakan teknologi dalam melakukan pelayanan kepada pasien.
Perkembangan teknologi jauh lebih cepat dibandingkan dengan tingkat kemahiran seseorang pada suatu teknologi pada jangka waktu tertentu. Oleh sebab itu perlu adanya kemampuan penguasaan teknologi dengan baik serta selalu update mengenai teknologi terkini yang dapat dipelajari Radiografer. Hal tersebut dilakukan agar tenaga kerja mampu mengup-date keahlian mereka sehingga daya saing mereka terhadap praktisi kesehatan asing juga akan meningkat.






BAB IV
PENUTUP
4.1    Kesimpulan
Berdasarkan  uraian mengenai peningkatan skill dan komunikasi Radiografer dalam meghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)  dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.         Gambaran karakteristik utama MEA adalah pasar tunggal dan basis produksi, kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi, kawasan dengan pembangunan ekonomi yang adil, dan kawasan yang terintegrasi ke dalam ekonomi global. Dampak terciptanya MEA adalah  terciptanya pasar bebas di bidang permodalan, barang dan jasa, serta tenaga kerja.
2.         Salah satu cara untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme adalah melalui pelatihan dan pendidikan  informal misal seminar dan workshop tentang peningkatan skill dan komunikasi Radiografer.
3.         Bahasa merupakan salah satu aspek  penting, hal ini karena banyak negara yang  mensyaratkan  untuk praktisi kesehatan dalam hal ini Radiografer yang akan bekerja di negara tersebut harus mampu menggunakan bahasa nasional mereka. Radiografer yang berkeinginan untuk bekerja di suatu negara harus menguasai bahasa di negara tersebut. Minimal Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional.
4.         Soft skill pada Radiografer dapat dibangun dan dikembangkan, oleh karena itu pengembangan soft skill melalui berbagai pelatihan tidak jauh berbeda dengan apa yang sekarang dikenal dengan pengembangan karakter bangsa
5.         Diperlukan kemampuan penguasaan teknologi oleh Radiografer agar tenaga kerja mampu mengup-date keahlian mereka sehingga daya saing mereka terhadap praktisi kesehatan asing juga akan meningkat.


4.2    Saran
Dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang telah merambah  ke berbagai negara  di Asia Tenggara  termasuk Indonesia, diperlukan upaya persiapan  khususnya Radiografer sebagai  tenaga kerja kesehatan Indonesia untuk  bisa bersaing dengan tenaga kerja asing dari negara tetangga. Persiapan tersebut seharusnya dimulai dari tingkat perguruan tinggi sebagai awal pencetak calon-calon Radiografer. Perguruan tinggi dapat bekerja sama dengan Institusi pemeritah dalam upaya peningkatan skill dan komunikasi yang baik agar tenaga kesehatan Indonesia nantinya merupakan tenaga kesehatan yang siap bersaing ditingkat Internasional.













DAFTAR PUSTAKA

Elfindri, dkk. 2011. Soft Skills untuk Pendidik. Jakarta: Praninta Offset www.tarif.depkeu.go.id
Kaipa P & Milus T. 2005. Soft Skills are Smart Skills. Jakarta: Praninta Offset Diunduh dari
Jurnal RechtsVinding, Vol. 3 No. 2, Agustus 2014, hlm 163-182
ASEAN Concord II/Bali Concord II,/http://www.aseansec.org)/15159.htm (Diakses tanggal 21 Februari 2016)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar